Langsung ke konten utama

NASEHAT PARA ULAMA SALAF AGAR MENJAUHI AHLUL BID'AH


Keenam puluh delapan:

Sikap Ahlus Sunnah terhadap Ahlul Bid’ah


Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


C. Nasihat Para Ulama Salaf Agar Menjauhi Ahlul Bid’ah

Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata:


لاَ تُجَالِسْ أَهْلَ اْلأَهْوَاءِ فَإِنَّ مُجَالَسَتَهُمْ مُمْرِضَةٌ لِلْقُلُوْبِ.


“Janganlah engkau duduk bersama pengikut hawa nafsu, karena akan menyebabkan hatimu sakit.” [1]


Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H) rahimahullah berkata:

مَنْ جَلَسَ مَعَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ فَاحْذَرْهُ، وَمَنْ جَلَسَ مَعَ صَاحِبِ الْبِدْعَةِ لَمْ يُعْطَ الْحِكْمَةَ، وَأُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ بَيْنِيْ وَبَيْنَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حِصْنٌ مِنْ حَدِيْدٍ.

“Hindarilah duduk bersama ahli bid’ah dan barangsiapa yang duduk bersama ahli bid’ah, maka ia tidak akan diberi hikmah. Aku suka jika di antara aku dan pelaku bid’ah ada benteng dari besi.” [2]


Beliau rahimahullah juga berkata:

أَدْرَكْتُ خِيَارَ النَّاسِ كُلُّهُمْ أَصْحَابُ سُنَّةٍ وَيَنْهَوْنَ عَنْ أَصْحَابِ الْبِدَعِ.

“Aku mendapati orang-orang terbaik, semuanya adalah penjaga-penjaga Sunnah dan mereka melarang bersahabat dengan orang-orang yang melakukan bid’ah.” [3]


Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullah berkata:


لاَ تُجَالِسُوْا أَهْلَ اْلأَهْوَاءِ وَلاَ تُجَادِلُوْهُمْ وَلاَ تَسْمَعُوْا مِنْهُمْ.


“Janganlah kalian duduk dengan pengikut hawa nafsu, janganlah berdebat dengan mereka dan janganlah mendengar per-kataan mereka.”[4]


Yahya bin Abi Katsir (wafat th. 132 H) rahimahullah berkata:

إِذَا لَقِيْتَ صَاحِبَ بِدْعَةٍ فِيْ طَرِيْقٍ، فَخُذْ فِيْ غَيْرِهِ.

“Jika engkau bertemu dengan pelaku bid’ah di jalan, maka ambillah jalan lain.” [5]


Abu Qilabah al-Raqasyi (wafat th. 104 H) rahimahullah berkata tentang ahli bid’ah:

لاَ تُجَالِسُوْهُمْ، وَلاَ تُخَالِطُوْهُمْ، فَإِنَّهُ لاَ آمَنُ أَنْ يَغْمِسُوْكُمْ فِي ضَلاَلَتِهِمْ، وَيُلَبِّسُوْا عَلَيْكُمْ كَثِيْراً مِمَّا تَعْرِفُوْنَ.

“Janganlah duduk bersama mereka dan janganlah bergaul dengan mereka. Sebab aku khawatir mereka menjerumus-kanmu ke dalam kesesatan mereka dan mengaburkan kepada-mu banyak hal dari apa-apa yang telah kalian ketahui.” [6]


Ketika datang dua orang (pengikut hawa nafsu) kepada Muhammad bin Sirin (wafat th. 110 H) rahimahullah, keduanya berkata: “Aku akan menyampaikan kepadamu suatu hadits.” Beliau berkata: “Tidak.” Keduanya berkata lagi: “Kami akan membacakan kepadamu suatu ayat dari Kitabullah.” Beliau menjawab: “Tidak, kalian pergi dariku atau aku yang pergi dari kalian.” [7]

Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Jika engkau melihat seseorang duduk-duduk bersama ahli bid’ah, berikanlah peringatan keras dan jelaskanlah kepadanya tentang kepribadiannya. Apabila ia tetap duduk-duduk bersama ahli bid’ah setelah ia mengetahuinya maka jauhilah ia karena ia termasuk pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah).” [8]

Imam al-Barbahari (wafat th. 329 H) rahimahullah juga mengatakan: “Jika engkau melihat suatu kebid’ahan pada seseorang, jauhilah ia sebab yang ia sembunyikan darimu lebih banyak dari apa yang ia perlihatkan kepadamu.” [9]

Imam al-Baghawi rahimahullah berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang akan terjadinya perpecahan pada ummat Islam ini, timbulnya pengekor hawa nafsu dan bid’ah di antara mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan jalan menuju keselamatan bagi orang-orang yang mengikuti Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah para Sahabat Radhiyallahu anhum. Oleh karena itu wajib bagi seorang Muslim apabila melihat seseorang yang melakukan sesuatu berdasarkan hawa nafsu dan perbuatan bid’ah yang diyakininya, maka janganlah memberi salam kepadanya dan apabila ia mengucapkan salam janganlah dijawab sampai akhirnya ia mau meninggalkan perbuatan bid’ahnya dan kembali kepada kebenaran.” [10]

Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Telah berlalu Sunnah para Sahabat, Tabi’in serta orang-orang yang mengikutinya. Dan seluruh ulama Ahlus Sunnah telah sepakat untuk memusuhi ahlul bid’ah dan menghajr (mengisolasi) mereka.” [11]

Shiddiq Hasan Khan (wafat th. 1307 H) rahimahullah berkata: “Termasuk Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu hajr (mengisolasi) ahlul bid’ah, memisahkan diri dari mereka, meninggalkan debat kusir, ber-tengkar tentang masalah yang sudah jelas dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah. Setiap hal yang baru dalam agama adalah termasuk bid’ah, tidak membaca buku-buku yang ditulis oleh ahli bid’ah, tidak mendengarkan perkataan mereka baik, dalam masalah-masalah yang prinsip maupun yang furu’ (cabang) dalam agama. Sebagaimana bid’ahnya Rafidhah, Khawarij, Jahmiyah, Qadariyah, Murji’ah, Karramiyah dan Mu’tazilah, semua firqah tersebut termasuk firqah (golongan) yang sesat dan jalannya mereka adalah jalan ahlul bid’ah.” [12]


Baca Juga  Agama Adalah Nasihat

D. Kerusakan-Kerusakan yang Ditimbulkan Akibat Ikut Bermajelis dan Bergaul dengan Ahli Bid’ah

Di antara kerusakan-kerusakan tersebut adalah:

1. Orang yang duduk dengan mereka dalam keadaan bahaya yang sangat besar karena berbagai syubhat akan masuk kepadanya dan ia tidak dapat membantahnya.

2. Bermajelis dengan ahli bid’ah berarti menyalahi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk meninggalkan majelis mereka dan berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah melarang bermajelis dengan mereka, juga berarti menentang jalannya orang-orang yang beriman di mana mereka sepakat dalam hal keharusan meninggalkan majelis mereka. Dengan demikian orang yang duduk dengan ahli bid’ah mendapatkan ancaman yang berat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka, hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” [An-Nuur: 63]

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ‘fitnah’: “Fitnah yang dimaksud adalah di dalam hati mereka terdapat kekufuran, kemunafikan, dan bid’ah.” [13]


3. Bermajelis dengan ahli bid’ah dapat menimbulkan perasaan cinta kepada mereka, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk membenci dan memusuhi mereka.


4. Bermajelis dengan ahli bid’ah dapat membahayakan ahli bid’ah itu sendiri.


Pertama, ia meninggalkan metode hajr (mengisolasi) yang disyari’atkan oleh Allah Azza wa Jalla agar ahli bid’ah itu taubat dan supaya kembali ke jalan kebenaran.

Kedua, duduknya seseorang dengan ahli bid’ah menjadikan ahli bid’ah itu tertipu oleh perangkap syaithan dengan menganggap bahwa hal itu sebagai pembenaran dan dukungan terhadapnya sehingga ia tetap mempertahankan kebathilannya.


5. Bermajelis dengan ahli bid’ah menyebabkan orang lain akan berprasangka buruk kepadanya, meskipun ia tidak terpengaruh dengan bid’ah-bid’ah mereka dan tidak setuju dengan mereka. [14]

Nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :

“Janganlah engkau jadikan hatimu seperti busa dalam hal menampung syubhat-syubhat, maka busa tersebut menyerapnya sehingga yang keluar dari busa tadi adalah syubhat-syubhat yang diserapnya tadi, tetapi jadikanlah hatimu itu seperti kaca yang kokoh dan rapat (air tidak dapat merembes ke dalamnya) sehingga syubhat-syubhat tersebut hanya lewat di depannya dan tidak menempel di kaca. Kaca tadi memandang syubhat-syubhat tersebut dengan kejernihannya dan menolaknya dengan sebab kekokohan kaca tersebut. Karena kalau tidak demikian, apabila hatimu menyerap setiap syubhat yang datang kepadanya, maka hati tersebut akan menjadi tempat tinggal bagi segala syubhat.”[15]

E. Pentingnya Mengetahui Batasan-Batasan Syar’i dalam

Hal Menjauhi Ahlul Bid’ah

Syaikh Bakr Abu Zaid حفظه الله berkata: “Hukum asal dalam syari’at ini adalah hajr terhadap ahli bid’ah, tetapi tidak bisa digeneralisir secara umum dalam setiap keadaan, setiap orang serta kepada setiap ahli bid’ah, tidak bisa demikian. Begitu pula sebaliknya, menolak dan meninggalkan hajr terhadap ahli bid’ah secara mutlak adalah perbuatan meremehkan masalah ini di mana telah jelas kewajibannya secara syar’i berdasarkan nash dan ijma’. Dan disyari’atkannya hajr ini dalam rangka batasan-batasan syar’i yang dilandasi dengan pertimbangan didapatkannya kemaslahatan dan dihindarkannya kerusakan, dan yang demikian itu berbeda-beda penerapannya tergantung dari perbedaan jenis bid’ah, yang berhubungan dengan ahli bid’ahnya itu sendiri, kemudian sedikit dan banyaknya, begitulah seterusnya ditinjau dari sisi-sisi perbedaan lainnya, di mana syari’at Islam mempertimbangkan hal itu semua.

Timbangan -bagi seorang muslim- yang dengan timbangan tersebut penerapan hajr itu menjadi benar sesuai dengan aturan mainnya. Timbangan itu berupa seberapa jauh dari tujuan-tujuan disyari’atkannya hajr terhadap ahli bid’ah dapat terealisasi, yang di antara tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai bentuk hukuman, pelajaran, kembalinya orang banyak kepada kebenaran, me-nyempitkan ruang gerak ahli bid’ah, menahan penyebaran bid’ah, dan menjamin bersihnya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kotoran bid’ah. [16]

Baca Juga  Keutamaan Dakwah Tauhid

Yang harus diperhatikan dalam menghajr dan mentahdzir terhadap ahli bid’ah adalah wajib dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan karena dorongan hawa nafsu, dengki, iri atau taqlid, dan lainnya. Selain itu juga harus ittiba’ (mencontoh) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengikuti manhaj para Sahabat Radhiyallahu anhuma. Banyak sekali orang yang menghajr karena semata-mata mengikuti hawa nafsunya dan dia menyangka hal tersebut sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. [17]

Dan sebagai tambahan, bahwa dalam menghajr harus memper-timbangkan mashlahat (manfaat) dan mafsadah (kerusakan) serta bertanya kepada ulama yang mendalam ilmunya agar dia tidak berbuat zhalim kepada saudaranya sesama muslim.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وَلَوْ كَانَ كُلُّ مَا اخْتَلَفَ مُسْلِمَانِ فِي شَيْءٍ تَهَاجَرَا لَمْ يَبْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ عِصْمَةٌ وَلاَ أُخُوَّةٌ.

“Seandainya setiap perselisihan dua orang muslim tentang suatu perkara, mereka saling melakukan hajr, maka tidak tersisi lagi penjagaan dan persaudaraan di antara kaum Muslimin.” [18]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وَمَا أَكْثَرُ مَا يُصَوِّرُ الشَّيْطَانُ ذلِكَ بِصُوْرَةِ اْلأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْجِهَادِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَيَكُوْنُ مِنْ بَابِ الظُّلْمِ وَالْعُدْوَانِ.

“Betapa banyak manusia digambarkan oleh syaithan bahwa yang ia lakukan itu sebagai amar ma’ruf nahi munkar dan jihad di jalan Allah, padahal sesungguhnya yang ia lakukan itu berupa kezhaliman dan permusuhan.” [19]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]

_______

Footnote

[1]. Lihat al-Ibaanah libni Baththah al-‘Ukbary (II/438 no. 371, 373).

[2]. Lihat al-Ibaanah (no. 470) oleh Ibnu Baththah al-‘Ukbari, Syarhus Sunnah (no. 170) oleh Imam al-Barbahari dan Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 1149) oleh al-Lalika-i.

[3]. Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/156, no. 267).

[4]. Diriwayatkan oleh ad-Darimi dalam Sunannya (I/110), Ibnu Baththah al-‘Ukbari dalam al-Ibaanah (no. 395, 458), dan lihat Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 240).

[5]. Lihat al-Bida’ wan Nahyu ‘anhaa (I/98-99, no. 124) oleh Ibnu Wadhdhah, tahqiq ‘Abdul Mun’im Salim, asy-Syarii’ah (I/458, no. 135) oleh al-Ajurri, al-Ibaanah (no. 390-392) oleh Ibnu Baththah al-‘Ukbari dan Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 240).

[6]. Al-Bida’ wan Nahyu ‘anhaa (I/99, no. 125) oleh Ibnu Wadhdhah, as-Sunnah (I/ 137, no. 99) oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, asy-Syarii’ah (I/435, no. 114) oleh al-Ajurri, al-Ibaanah (II/437, no. 369) oleh Ibnu Baththah al-‘Ukbari, al-I’tiqaad (hal. 136) oleh Imam al-Baihaqi, Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/151, no. 244).

[7]. Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/109), lihat al-Ibaanah (II/445, no. 398) oleh Ibnu Baththah dan Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/151, no. 242).

[8]. Syarhus Sunnah (no. 144) oleh Imam al-Barbahari.

[9]. Ibid, no. 148.

[10]. Syarhus Sunnah (I/224) oleh Imam al-Baghawi.

[11]. Ibid, I/227.

[12]. Lihat Qathfuts Tsamar fii Bayaan ‘Aqiidah Ahlil Atsar (hal. 157) oleh Siddiq Hasan Khaan, tahqiq Dr. ‘Ashim bin ‘Abdillah al-Qaryuthi.

[13]. Tafsiir Ibni Katsir (III/338).

[14]. Diringkas dari kitab Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa’ wal Bida’ (II/550-552) oleh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili.

[15]. Lihat Miftaah Daaris Sa‘aadah (I/443) oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah t, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi.

[16]. Hajrul Mubtadi’ (hal. 41) oleh Syaikh Bakr Abu Zaid. Tentang batasan syar’i dalam menjauhi ahlul bid’ah lihat kitab Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa’ wal Bida’ (II/553-563) oleh Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili.

[17]. Disadur dari Majmuu’ Fataawaa (XXVIII/207) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

[18]. Majmuu’ Fataawaa (XXIV/173) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

[19]. Lihat Dhawaabitul Amr bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar ‘inda Syaikhil Islam (hal. 36).

Referensi : https://almanhaj.or.id/1588-nasihat-para-ulama-salaf-agar-menjauhi-ahlul-bidah.html


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM UPA-UPA/TEPUNG TAWAR MENURUT ISLAM

Adat istiadat pada asalnya hukumnya boleh selama tidak bertentangan dengan Syari'at, sebagaimana kaedah mengatakan: العادة الإباحة مالم تخالف الشرع " Adat itu diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan Syari'at ". Semua adat istiadat yang ada di dalam masyarakat kaum muslimin semuanya boleh diikuti selama tidak bertentangan dengan Syari'at islam, namun perlu digaris bawahi bahwa adat istiadat adalah peninggalan nenek moyang yang seharus hati hati dan teliti, karena yang namanya nenek moyang itu banyak diantara mereka yang masih terpengaruh dengan adat istiadat luar, maka hendaknya dikaji secara cermat.  Adat Upa upa adalah istilah adat istiadat yang dikenal di wilayah Sumatera bagian utara dan khususnya daerah Tapanuli Selatan dan Mandailing, juga Tapanuli Utara atau Toba, di Indonesia umumnya dikenal masyarakat dengan nama Tepung tawar. Pengertian upa upa sendiri menurut Wikipedia ( silahkan buka di google) adalah: "Upa-Upa atau Mangupa adalah Upacara ad

JADIKANLAH SABAR DAN SHALAT SEBAGAI PENOLONGMU

Dalam dua ayat surat Al Baqarah, Allah memerintahkan bagi hamba-Nya untuk meminta pertolongan dengan sabar dan shalat. Allah Ta’ala berfirman, وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ “Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu” (QS. Al Baqarah: 45) Allah Ta’ala juga berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah: 153). ⚉ Sabar adalah kunci keberhasilan Syekh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin Rahimahullah berkata, “Allah memerintahkan agar kita meminta pertolongan dalam setiap hal dengan bersabar dalam menghadapinya. Seorang hamba jika bersabar dan menunggu keberhasilan yang Allah berikan maka niscaya masalah yang dihadapinya akan menjadi r

PEMBATAL-PEMBATAL KEISLAMAN

 Keempat puluh empat: PEMBATAL-PEMBATAL KEISLAMAN[1] Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini adanya perkara-perkara yang dapat membatalkan keislaman seseorang. Berikut ini akan kami sebutkan sebagiannya: Menyekutukan Allah (syirik). Yaitu menjadikan sekutu atau menjadikannya sebagai perantara antara dirinya dengan Allah. Misalnya berdo’a, memohon syafa’at, bertawakkal, beristighatsah, bernadzar, menyembelih yang ditujukan kepada selain Allah, seperti menyembelih untuk jin atau untuk penghuni kubur, dengan keyakinan bahwa para sesembahan selain Allah itu dapat menolak bahaya atau dapat mendatangkan manfaat. Allah Ta’ala berfirman: إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya…” [An-Nisaa/4: 48] Dan Allah Ta’ala berfirman: إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرّ